Rabu, 04 Februari 2009

pori-pori jiwa

Dari mana datangnya seluruh kesadaran kita pada hari ini? Mungkin banyak dari kita yang tak begitu memikirkannya; bahwa kapasitas kesadaran dalam diri kita tidak datang secara ujug-ujug. Dia terbentuk oleh lalu-lintas keluar masuknya informasi yang melewati pori-pori jiwa kita. Taruhlah, sepuluh tahun yang lalu, kesadaran kita tentang sesuatu berbobot 2 kilogram—mungkin terdiri atas sedikit ilmu dan beberapa kebodohan. Namun, saat kita melewati sebuah peristiwa dan ikut merasakannya, volume kesadaran kita bertambah beratnya—mungkin disebabkan oleh masuknya sejumlah ilmu dan keluarnya beberapa kebodohan tersebut.
Jiwa kita memang memiliki pori-pori, tempat keluar dan masuknya informasi yang ikut membentuk kesadaran dalam diri kita. Pori-pori itu menampung dan membuang faktor-faktor yang menghuni volume kesadaran kita, yang umumnya terdiri atas dua “makhluk”: ilmu dan kebodohan. Kedua makhluk ini bisa keluar (yang berarti menambah bobot keilmuan kita jika yang keluar itu kebodohan) dan bisa masuk (yang artinya memperberat kebodohan kita jika itu yang keluar itu adalah ilmu). Keluarnya kebodohan, dalam konteks ini, tentu saja bukanlah karena kebodohan itu ditransfer—apalagi yang diregenerasikan--, melainkan benar-benar lenyap seperti embun pagi yang ditimpa sinar matahari. Dan keluarnya ilmu bukan karena diamalkan kepada orang lain, melainkan justru karena tak pernah diamalkan sama sekali hingga dia pergi, seperti usia tua yang tak mungkin menjadi muda kembali.
Kita menyadari pori-pori jiwa mungkin sebagai rasa sensitif atau peka yang bekerja mencerap informasi saat kita melewati sebuah peristiwa—yang kemudian kita rasakan sebagai inspirasi, ide, gagasan, yang menambah ilmu dan “mendepak” kebodohan-kebodohan kita. Sayangnya, rasa sensitif lebih sering kita gunakan sebagai pertahanan untuk hal-hal yang berkenaan dengan ego-sentris kita. Hasilnya, kita lebih sering tersinggung daripada berpikir untuk bertindak lebih baik dan kreatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar